Di sanalah Adam dan Hawa hidup dan berketurunan. Di antara keturunan Adam dan Hawa ada yang hidup berpindah randah, tentu saja dengan tujuan mencari tempat yang lebih baik, udara yang lebih nyaman, atau penghasilan yang lebih mudah mendapatkannya. Dengan jalan begitu, manusia makin lama makin banyak jumlahnya, dan daerah yang mereka tempati semakin luas pula, berkembang ke Timur dan ke Barat, ke Utara atau ke Selatan.
Beberapa abad kemudian, dunia ini menjadi ramai dan semakin ramai. Pada abad pertama sampai kelima menurut Said yang diambil dari perkataan Qatadah (Sahabat Rasulullah s.a.w), mereka boleh dikatakan hidup dalam keadaan aman dan tenteram, dengan kepercayaan yang benar sesuai dengan ajaran Adam dan Hawa yang sangat giat menunjuki akan anak turunannya agar jangan sampai tersesat dan celaka, seperti apa yang sudah terjadi antara adik dan kakak yang bernama Qabil dan Habil.
Tetapi dalam abad-abad yang berikutnya, iaitu kira-kira pada turunan yang kelima atau keenam dari Adam dan Hawa, mulailah timbul kerosakan dalam kepercayaan mereka. Ajaran Adam dan Hawa nenek moyang mereka, sudah mereka lupakan. Lalu timbullah berbagai-bagai kerosakan, kekacauan atau perselisihan antara mereka.
Diriwayatkan oleh Atiyah dari Ibnu Abbas r.a, bahawa manusia di saat wafatnya Adam semuanya baik dan beriman, tetapi kemudian hampir seluruhnya menjadi seperti binatang binatang yang tidak mempunyai akal. Dan karena itulah Allah lalu mengutus Nabi-nabi dan Rasul-rasul untuk membimbing mereka, dengan memberi khabar gembira dan ancaman.
Nabi pertama yang diutus Allah iaitu Nabi Idris a.s, kira-kira dalam abad keenam sesudah Adam. Tetapi Nabi Idris ini mereka dustakan, sampai Nabi Idris ini diangkatkan Allah ke Tempat Tinggi (wafat). Sepeninggalan Nabi Idris a.s, di antara manusia yang hidup kafir dan jahat seperti binatang itu, ada pula beberapa orang yang hidup secara baik, sehingga mereka dicintai oleh kaum kerabat dan orang orang yang ada di sekitar mereka. Di antara mereka itu ada lima orang yang amat masyhur, iaitu yang bernama: Wad, Suwaa, Yaghuth, Yauuq dan Nasr.
Menurut Hisyam, kelima-lima orang yang baik ini mati serentak berturut turut dalam satu bulan, sehingga menyebabkan kegemparan yang amat sangat bagi keluarga dan orang-orang yang mencintai mereka itu. Kemudian salah seorang dari kerabat yang sangat cinta mengusulkan kepada teman-teman dan kaum kerabat, agar bagi kelima orang baik yang telah meninggal dunia itu, dibuatkan gambar berupa patung yang menyerupai mereka, sekadar untuk kenang kenangan supaya melepaskan teragak atau rindu hati terhadap masing-masing mereka. Usul ini diterima orang banyak dengan gembira.
Lalu dicarilah orang-orang yang pandai menggambar dan mematungkannya. Mereka buatlah lima patung (berhala) yang pertama di dunia ini, yang masing-masingnya mereka beri nama dengan nama nama dari orang yang meninggal itu, iaitu Wad, Suwaa, Yaghuth, Yauuq dan Nasr. Begitulah, patung-patung itu sering mereka datangi untuk melihatnya, mereka hormati, kadang-kadang dengan upacara-upacara tertentu. Demikianlah terjadi pada abad pertama. Menurut at-Tabary, nama-nama tersebut sesudah ditaarifkan, iaitu dibahasa-Arabkan; sesudah di-Ibranikan dari bahasa aslinya.
Pada abad kedua, cara membesarkan dan menghormati patung-patung itu makin ditingkatkan. Dalam pada itu timbullah berbagai bagai cerita dongeng tentang patung patung atau berhala berhala tersebut, cerita-cerita yang sangat mempengaruhi jiwa manusia yang mendengarkannya.
Dalam abad ketiga, mulalah timbul dogma-dogma, mitos atau kepercayaan-kepercayaan yang bersifat mistik. Mereka katakan, bahawa nenek-moyang kita sampai menghormati patung patung itu, kerana dengan penghormatan itu patung-patung tersebut dapat mendatangkan manfaat dan syafaat bagi mereka. Lalu patung-patung itu mereka sembah, mereka puja-puja. Timbullah kepercayaan menyembah patung-patung, dan patung-patung itulah tuhan, kata mereka.
Berkata Ibnul Kalby dari Ibnu Salih, bahawa menurut Ibnu Abbas r.a, di antara Nabi Adam dan Nuh adalah 12 abad lamanya. Dan di abad kedua belas sesudah Adam ini, seluruh manusia sudah menyembah patung-patung tersebut. Kerananya Allah lalu mengutus Nabi Nuh a.s. untuk memperbaiki keadaan mereka yang sudah rosak itu.
Menurut al-Quran, usia Nabi Nuh ini sehingga 950 tahun. Nabi Nuh diutus Allah menjadi Nabi dan Rasul ketika berumur 480 tahun sampai wafatnya, iaitu dalam masa 500 tahun, atau 5 abad lamanya. Nabi Nuh a.s. dengan segiat-giatnya, tanpa mengenal lelah, siang dan malam, terus-menerus mencuba memalingkan kaumnya dari kekafiran menyembah patung-patung tersebut. Tetapi amatlah sulitnya, terlalu sedikit hasilnya. Dalam masa 5 abad itu, Baginda hanya berhasil mendapatkan pengikut 70 atau 80 orang saja, yang semuanya terdiri dari orang-orang yang lemah dan melarat saja.
Nabi Nuh adalah seorang fasih berkata kata, tajam pemikiran atau akalnya, dapat menangkis kalau berdebat, bersifat sabar dan tenang. Sungguhpun begitu, setiap kali Nabi Nuh membawa mereka kepada menyembah Allah, maka mereka menentangnya; setiap diperingatkan akan azab dan siksa Tuhan, mereka menutup anak telinga masing-masing; saban diberi khabar suka dengan Syurga Allah, bahkan mereka menyombong dan mengejek serta mencuba membantah seruan Nabi Nuh.
Dengan sabar dan tak putus asa, Nabi Nuh menghadapi mereka. Bukan sekali dua kali, bukan dalam waktu sebulan-dua bulan, atau setahun-dua tahun, tetapi dalam waktu berpuluh, bahkan beratus tahun. Hampir seluruh umur yang diberikan Allah kepada Nabi Nuh yang lamanya 950 tahun itu, digunakan dengan segiat-giatnya untuk memalingkan kekafiran kaumnya itu; dengan kesabaran dan keterangan-keterangan yang terang dan jelas, dengan kepandaian berkata dan berbicara, dengan membawakan alasan-alasan yang lengkap. Langit dan bumi, siang dan malam, laut dan darat, dipergunakan Nabi Nuh sebagai alasan dan bukti atas keagungan Allah atas kekuasaanNya, dan atas keEsaan Allah.
Sedikit sekali mereka yang percaya kepada Nuh dan mengiakan pelajarannya. Tidak sesuai dengan jumlahnya manusia, tidak cocok dengan kegiatan dan kebijaksanaan yang sudah diberikan Nabi Nuh. Tidak lebih jumlah mereka yang menurut ini daripada 80 orang saja. Yang lain tetap ingkar, tidak percaya, tetap membantah dan membesarkan diri, mengejek dan lain-lain sebagainya.
Reaksi dari mereka yang ingkar itu bukan semakin berkurang, malah bertambah hebat dan meningkat juga. Mereka berkata kepada Nabi Nuh: “Bukankah engkau manusia biasa seperti kami juga, buat apa kami mengikuti engkau. Kalau diutus kepada kami seorang Malaikat, barangkali dapat kami mengikutnya, mengiakan katanya. Bukankah orang-orang yang mengikuti engkau itu, orang-orang yang rendah dan bodoh belaka. Sedangkan kami ini orang orang yang mulia, berkedudukan dan pekerjaan yang tinggi-tinggi, tidak mengharapkan fikiran dan pertolongan orang lain, cukup kepandaian dan kepintaran Engkau sendiri, ya Nuh, bukan lebih dari kami tentang harta, tentang akal dan fikiran, tentang pemandangan, bahkan engkau kami pandang orang yang dusta.
Semua itu dijawab oleh Nabi Nuh dengan jawapan yang tegas tepat, dengan keterangan-keterangan yang dapat melemahkan dan mengalahkan hujah mereka: “Dapatkan gerangan kamu memutar jalan matahari dengan kepandaianmu, atau mencapai bintang dengan tanganmu? Dapatkah kamu beroleh terang kalau tidak kerana matahari yang diciptakan Allah. Dapatkah kamu hidup kalau tidak dengan udara yang dijadikan Allah?”
Mereka menjawab lagi dengan sanggahan yang baru dan dibuat-buat: “Kalau engkau benar-benar orang yang mencintai sesama manusia, cintailah orang-orang yang telah mengikutimu itu saja, sedang kami biarkanlah saja, kerana kami tidak akan dapat mengikuti jejak mereka, kami tidak dapat menganut agama yang mereka anut yang engkau ajarkan itu, di mana disamakan sang raja raja dengan rakyat, orang-orang yang mulia dengan orang yang hina, orang yang kaya dengan orang miskin.”
Nabi Nuh menjawab: “Bahawa agama ini buat kamu sekalian, dengan tidak mengecualikan yang pintar dan yang bodoh, yang jadi raja dan yang jadi budak, yang berkuasa dan dikuasai, yang kaya dan yang miskin.”
Debat ini bertambah sengit. Nabi Nuh menghadapinya dengan sabar dan tenang saja, tetapi mereka rupanya telah sempit dada, lalu berkata kepada Baginda: “Hai Nuh, engkau sudah berdebat dengan kami, dan telah lebih dari cukup banyaknya, datangkanlah kepada kami (siksaan) yang engkau katakan itu, jika engkau orang yang benar.”
Nabi Nuh menambah lagi dengan sabar: “Sungguh kamu orang-orang yang bodoh sekali, meminta siksaan Allah, bukan rahmat Allah yang kamu tuntut. Ketahuilah bahawa Allah kuasa atas tiap-tiap sesuatu. Jika Allah menghendaki akan disiksanya kamu, dan jika Allah ingin Dia akan mendatangkan siksaan itu secepat-cepatnya kepada kamu, di mana kamu pasti menyesal nanti. ”
Sehabis perdebatan itu, Nabi Nuh selamanya bermunajat dan berdoa kepada Allah, mengemukakan perasaan hati dan bermohon ampun atas kelemahannya, minta petunjuk petunjuk yang baru sambil mengeluh dan mengadu. Akhirnya Allah menurunkan wahyu kepada Nuh: “Tidak akan beriman kaummu itu selain orang-orang yang telah beriman, dan janganlah kamu berputus asa atas apa yang mereka perbuat.”
Sehabis berjuang dan berusaha dengan kesabaran yang ada padanya, akhirnya Nabi Nuh berdoa kepada Allah: “Ya Allah, janganlah dibiarkan tinggal di bumi ini orang-orang yang ingkar seorang pun, sebab andai Engkau biarkan mereka tinggal, mereka akan menyesatkan hamba-hambaMu, dan mereka akan menurunkan turunan yang jahat dan ingkar saja.”
Doa Nabi Nuh ini didengar oleh Allah dan dikabulkan, lalu Allah berfirman: “Engkau perbuatlah kapal dengan pertolongan dan petunjuk-petunjuk Kami dan janganlah engkau pohonkan pertolongan kepadaKu tentang nasib orang-orang yang zalim itu, mereka semuanya akan tenggelam.”
Nabi Nuh mulai membina kapal dengan mempergunakan kayu dan paku, di suatu tempat dekat kota. Dan setiap orang yang lalu di tempat itu, selalu mengejek dan memperolok-olokkannya dengan berbagai-bagai kata dan bicara. Ada yang berkata: “Engkau selama ini hai Noh, mendakwakan yang engkau Nabi dan Rasul. Kenapa hari ini kami lihat engkau menjadi tukang kayu? Apa engkau sudah bosan menjadi Nabi dan ingin menjadi tukang kayu?”
Ada pula yang mengejek: “Apa gunanya kapal yang engkau buat itu, sedang di sini tidak ada laut dan sungai? Apakah engkau akan tarik dengan lembu kapal itu atau akan engkau terbangkan di udara?”
Di bawah serangan ejekan itu Nabi Nuh terus bekerja dan hanya berkata: “Apabila kamu tetap mengejek kami, kami akan mengejek kamu pula nanti sebagai kamu mengejek kami ini, dan akan kamu ketahui sendiri nasibnya orang-orang yang kena siksa itu, sedang siksaan itu akan terjadi.”
Nabi Nuh dan pengikutnya terus bekerja, sehingga sempurnalah pembikinan kapal itu. Hanya sekarang menunggu bagaimana perintah Allah selanjutnya. Dalam pada itu Tuhan telah mewajibkan kepada Nuh, agar apabila siksa itu telah datang, Nuh dan pengikut-pengikutnya segera naik ke kapal itu, dengan membawa semua orang yang beriman dan binatang ternaknya yang berpasang-pasangan.
Terbukalah pintu-pintu langit, sehingga dari langit itu tercurah air sebesar-besarnya jatuh ke bumi. Sedangkan dari bumi terpancar sumber-sumber air yang besar-besar, sehingga dalam sebentar waktu permukaan bumi digenangi air banjir yang luar-biasa hebatnya, menggenangi tanah yang tinggi dan yang rendah. Air banjir semakin naik juga sehingga telah mencapai rumah-rumah dan bukit-bukit, sedang Nabi Nuh dan pengikut-pengikutnya sewaktu itu telah berada di atas kapal yang mereka perbuat selama ini.
Dengan kegemparan yang luar biasa, kaum yang ingkar itupun berlompatan ke sana-sini, tidak keruan tujunya sebagai se gerombolan keldai dikejuti singa, saling berteriak dan menghindarkan diri masing-masing dari bahaya maut, Ada yang naik ke atas atap rumah rumah tetapi tercapai juga oleh air banjir, ada yang naik memanjat batang kayu yang tinggi, tetapi akhirnya tenggelam juga, ada pula yang berenang menuju ke bukit yang tinggi-tinggi yang menurut kiranya tidak akan tercapai oleh banjir yang bagaimana hebatnya.
Ketika Nabi Nuh berdiri di tempat yang tertinggi di atas kapalnya, mata Nabi Nuh terpandang kepada seorang anaknya yang bernama Kannan, anak yang ingkar yang tidak tunduk kepadanya, sedang berjuang dengan maut menggabai-gabai mencari tempat yang tinggi. Cinta kepada anak memaksa Nuh memanggil anaknya yang malang itu dengan panggilan yang penghabisan: “Hai anakku! Mari bersama kami, janganlah engkau bersama orang-orang yang kafir itu!”
Seruan yang penghabisan di saat yang genting begitu rupa itupun tidak dapat diterima anak yang derhaka itu, kerana ia masih percaya akan dapat menghindarkan dirinya dari siksaan yang nyata itu dengan kekuatan dan fikiran yang ada padanya. Seruan bapaknya itu dijawab dengan sombong pula: “Saya akan mencapai puncak gunung yang tinggi itu, sehingga saya akan terlepas dari banjir ini.”
Nabi Nuh berkata lagi kepadanya, kerana cinta kepada anak sendiri: “Hari ini tiada yang dapat melindungi dari siksaan, selain Tuhan Yang Maha Pengasih.”
Anak itupun lenyap ditelan ombak yang sedang bergulung-gulung, tinggallah Nabi Nuh melihat dengan sedih dan berkata: Ya Allah, bukankah anakku itu termasuk keluarga saya sendiri?”
Allah menurunkan ilham kepada Nuh: “Bahawa anak itu bukan ahlimu lagi, dan tidaklah termasuk menjadi keluargamu siapa saja yang kafir dan derhaka. Kami hanya berhak menolong orang orang yang iman saja.”
Allah mengilhamkan pula kepada Nuh, agar Nabi Nuh tidak lagi memohon kepada Tuhan tentang apa yang tidak diketahuinya dengan firman: “Aku ajari engkau (ya Nuh) tentang apa yang engkau masih jahil.”
Nabi Nuh insaf dengan pengajaran yang diterimanya daripada Allah, seraya menadahkan kedua telapak tangannya bersyukur kepada Allah yang telah memelihara kaumnya yang beriman terlepas dari azab. Lalu Nabi Nuh bermohon ampun atas segala dosa dan kesalahannya: “Aku berlindung diri kepadaMu ya Tuhanku, atas apa-apa yang sudah aku mohon yang aku sendiri tidak ketahui, dan jika Engkau tidak memberi ampunan ke atas aku, sungguh aku akan tergolong dalam orang yang rugi.”
Banjir dahsyat dan gelombangnya yang bergulung itu telah menelan semua manusia yang ingkar. Langit mulai tertutup dan berhenti mencurahkan air, sedang bumi telah menyerap semua air yang berada di atas datarannya. Bahtera Nabi Nuh terhenti di atas puncak Gunung Judy, yang masih dicari bekas tinggalannya sehingga ke hari ini. Nabi Nuh dan pengikutnya kembali ke kampung halaman mereka, menghirup udara baru yang penuh dengan berkat dan pertolongan Allah.
Allahu a’lam bisshawab.
No comments:
Post a Comment